Reformasi sistem politik di Indonesia baik yang bersifat kelembagaan maupun perundangan memunculkan model perencanaan dan kebijakan pembangunan nasional yang baru mengantikan model perencanaan dan kebijakan lama. Muara dari reformasi ini adalah keinginan untuk melakukan perbaikan-perbaikan atas kelemahan-kelemahan yang timbul dari praktik perencanaan pembangunan maupun kebijakan pembangunan yang sebelumnya pernah diterapkan demi pencapaian tujuan kesejahteraan rakyat
sebagaimana di amanatkan oleh konstitusi.
Dalam
konteks ini, Pemerintah dan DPR menyepakati pengundangan UU Nomor 25 tahun 2004
tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional sebagai landasan bagi proses
perumusan program pembangunan baik dalam jangka panjang, menengah maupun
tahunan. Berkaitan dengan program pembangunan jangka menengah, pemerintah telah
mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 7 tahun 2004 tentang Rencana Pembangunan
Jangka Menengah tahun 2004-2009 sebagai pedoman bagi penyusunan rencana kerja tahunan
pemerintah.
Secara
singkat, model dan alur perencanaan pembangunan sebagaimana diatur dalam UU
Nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dalam
dijelaskan dalam diagram berikut ini.
Sejalan
dengan amandemen UUD 1945 ketiga tahun 2001, Majelis Permusyawaratan Rakyat
tidak lagi memegang kedaulatan negara tertinggi. Selain itu, MPR juga tidak
lagi memiliki kewajiban untuk menetapkan GBHN.
Dengan
berlakunya amandemen Undang-Undang Dasar 1945 hingga amandemen keempat, telah
terjadi perubahan dalam pengelolaan pembangunan, yaitu:
Penguatan kedudukan lembaga legislatif dalam Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN);
Penguatan kedudukan lembaga legislatif dalam Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN);
Ditiadakannya
Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) sebagai pedoman penyusunan rencana
pembangunan nasional; dan
Diperkuatnya Otonomi Daerah dan desentralisasi pemerintahan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Diperkuatnya Otonomi Daerah dan desentralisasi pemerintahan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pemilihan
presiden secara langsung sebagai hasil perubahan UUD 45 dan ditiadakannya GBHN
sebagai pedoman Presiden untuk menyusun rencana pembangunan serta pemberlakuan
UU Nomor 32 tahun 2004, sebagai amandemen UU Nomor 22 tahun 1999, tentang
Pemerintahan Daerah yang memungkinkan penyelenggaraan otonomi daerah dengan
kewenangan yang lebih luas, nyata dan bertanggung jawab kepada Daerah menjadi
landasan perlunya sistem perencanaan pembangunan nasional. Pemberian kewenangan
yang luas kepada Daerah juga membawa konsekuensi diperlukannya langkah koordinasi
dan pengaturan untuk lebih mengharmoniskan dan menyelaraskan pembangunan, baik
pembangunan nasional, pembangunan daerah, maupun pembangunan antar daerah.
Untuk menjawab kebutuhan-kebutuhan diatas, pada tanggal 5 Oktober 2004
Pemerintah dengan persetujuan DPR menerbitkan Undang-Undang Nomor 25
tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Melalui UU
Nomor 25 tahun 2004, bangsa Indonesia memasuki era baru dalam sejarah pembangunan nasional untuk menjamin kegiatan pembangunan yang berjalan
secara efektif, efisien, dan bersasaran dalam rangka mewujudkan tujuan negara sebagaimana diamanahkan oleh Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Melalui UU
Nomor 25 tahun 2004, bangsa Indonesia memasuki era baru dalam sejarah pembangunan nasional untuk menjamin kegiatan pembangunan yang berjalan
secara efektif, efisien, dan bersasaran dalam rangka mewujudkan tujuan negara sebagaimana diamanahkan oleh Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Masih
tingginya laju pertumbuhan dan jumlah penduduk. Jumlah penduduk Indonesia dari
tahun ke tahun terus meningkat, meskipun laju pertumbuhannya dapat dikendalikan
sehingga semakin menurun. Berdasarkan hasil Sensus Penduduk (SP) 1990 dan 2000,
jumlah penduduk Indonesia 179,4 juta jiwa dan 206,3 juta jiwa, dengan laju
pertumbuhan penduduk 1,49 persen per tahun pada periode 1990-2000, lebih rendah
dari laju pertumbuhan penduduk periode 1980-1990 (1,97 persen). Meskipun telah
terjadi penurunan pertumbuhan penduduk karena menurunnya angka kelahiran, namun
secara absolut pertambahan penduduk Indonesia masih:akan meningkat sekitar 3
sampai 4 juta jiwa per tahun. Hal ini disebabkan belum terkendalinya angka
kelahiran pada tahun 1970- an, sehingga terjadi peningkatan jumlah penduduk
pasangan usia subur yang relatif lebih cepat dibanding kelompok usia
sebelumnya, atau timbulnya momentum kependudukan.
Masih
tingginya tingkat kelahiran penduduk. Faktor utama yang mempengaruhi laju
pertumbuhan penduduk adalah tingkat kelahiran. Berdasarkan Sensus Penduduk
tahun 1971, angka kelahiran total (Total Fertility Rate/TFR) diperkirakan 5,6
anak per wanita usia reproduksi, dan saat ini telah turun lebih 50 persen
menjadi 2,6 anak per wanita (Survei Demografl dan Kesehatan Indonesia-SDKI
2002-2003). Penurunan TFR antara lain karena meningkatnya penggunaan alat dan
obat kontrasepsi (prevalensi) pada pasangan usia subur pada tahun 1980-an. Pada
tahun 1971, angka prevalensi penggunaan kontrasepsi kurang dari 5 persen, tahun
1980 meningkat menjadi 26 persen, tahun 1987 menjadi 48 persen, tahun 1997
menjadi 57 persen, dan tahun 2002 sebesar 60 persen (SDKI 2002-2003).
2. SDM Indonesia dalam Persaingan Global
2. SDM Indonesia dalam Persaingan Global
Sumberdaya
manusia (SDM) merupakan salah satu faktor kunci dalam reformasi ekonomi, yakni
bagaimana menciptakan SDM yang berkualitas dan memiliki keterampilan serta
berdaya saing tinggi dalam persaingan global yang selama ini kita abaikan.
Adanya
ketimpangan antara jumlah kesempatan kerja dan angkatan kerja. Jumlah angkatan
kerja nasional pada krisis ekonomi tahun pertama (1998) sekitar 92,73 juta
orang, sementara jumlah kesempatan kerja yang ada hanya sekitar 87,67 juta
orang dan ada sekitar 5,06 juta orang penganggur terbuka (open unemployment
Lesunya dunia usaha akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan sampai saat ini
mengakibatkan rendahnya kesempatan kerja terutama bagi lulusan perguruan
tinggi. Sementara di sisi lain jumlah angkatan kerja lulusan perguruan tinggi
terus meningkat. Sampai dengan tahun 2000 ada sekitar 2,3 juta angkatan kerja
lulusan perguruan tinggi. Kesempatan kerja yang terbatas bagi lulusan perguruan
tinggi ini menimbulkan dampak semakin banyak angka pengangguran sarjana di
Indonesia. Menurut catatan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti)
Depdiknas angka pengangguran sarjana di Indonesia lebih dari 300.000 orang.
Fenomena
meningkatnya angka pengangguran sarjana seyogyanya perguruan tinggi ikut
bertanggungjawab. Fenomena penganguran sarjana merupakan kritik bagi perguruan
tinggi, karena ketidakmampuannya dalam menciptakan iklim pendidikan yang
mendukung kemampuan wirausaha mahasiswa.
Masalah
SDM inilah yang menyebabkan proses pembangunan yang berjalan selama ini kurang
didukung oleh produktivitas tenaga kerja yang memadai. Itu sebabnya
keberhasilan pembangunan yang selama 32 tahun dibanggakan dengan tingkat
pertumbuhan rata-rata 7%, hanya berasal dari pemanfaatan sumberdaya alam
intensif (hutan, dan hasil tambang), arus modal asing berupa pinjaman dan
investasi langsung. Dengan demikian, bukan berasal dari kemampuan manajerial
dan produktivitas SDM yang tinggi.
Kenyataan
ini belum menjadi kesadaran bagi bangsa Indonesia untuk kembali memperbaiki
kesalahan pada masa lalu. Rendahnya alokasi APBN untuk sektor pendidikan—tidak
lebih dari 12% -- pada peme-rintahan di era reformasi. Ini menunjukkan bahwa
belum ada perhatian serius dari pemerintah pusat terhadap perbaikan kualitas
SDM. Padahal sudah saatnya pemerintah baik tingkat pusat maupun daerah secara
serius membangun SDM yang berkualitas. Sekarang bukan saatnya lagi Indonesia
membangun perekonomian dengan kekuatan asing. Tapi sudah seharusnya bangsa
Indonesia secara benar dan tepat memanfaatkan potensi sumberdaya daya yang
dimiliki (resources base).
Orang
tidak bekerja alias pengangguran merupakan masalah bangsa yang tidak pernah
selesai. Ada tiga hambatan yang menjadi alasan kenapa orang tidak bekerja,
yaitu hambatan kultural, kurikulum sekolah, dan pasar kerja. Hambatan kultural
yang dimaksud adalah menyangkut budaya dan etos kerja. Sementara yang menjadi
masalah dari kurikulum sekolah adalah belum adanya standar baku kurikulum
pengajaran di sekolah yang mampu menciptakan dan mengembangkan kemandirian SDM
yang sesuai dengan kebutuhan dunia kerja. Sedangkan hambatan pasar kerja lebih
disebabkan oleh rendahnya kualitas SDM yang ada untuk memenuhi kebutuhan pasar
kerja.
Ekonomi
abad ke-21, yang ditandai dengan globalisasi ekonomi, merupakan suatu proses
kegiatan ekonomi dan perdagangan, di mana negara-negara di seluruh dunia
menjadi satu kekuatan pasar yang semakin terintegrasi dengan tanpa rintangan
batas teritorial negara. Globalisasi yang sudah pasti dihadapi oleh bangsa
Indonesia menuntut adanya efisiensi dan daya saing dalam dunia usaha. Dalam
globalisasi yang menyangkut hubungan intraregional dan internasional akan
terjadi persaingan antarnegara. Indonesia dalam kancah persaingan global
menurut World Competitiveness Report menempati urutan ke-45 atau terendah dari
seluruh negara yang diteliti, di bawah Singapura (8), Malaysia (34), Cina (35),
Filipina (38), dan Thailand (40).
Perwujudan
nyata dari globalisasi ekonomi yang akan dihadapi bangsa Indonesia antara lain
terjadi dalam bentuk-bentuk berikut: Produksi, di mana perusahaan berproduksi
di berbagai negara, dengan sasaran agar biaya produksi menjadi lebih rendah.
Hal ini dilakukan baik karena upah buruh yang rendah, tarif bea masuk yang
murah, infrastruktur yang memadai ataupun karena iklim usaha dan politik yang
kondusif.
Pembiayaan.
Perusahaan global mempunyai akses untuk memperoleh pinjaman atau melakukan
investasi (baik dalam bentuk portofolio ataupun langsung) di semua negara di
dunia. Sebagai contoh, PT Telkom dalam memperbanyak satuan sambungan telepon,
atau PT Jasa Marga dalam memperluas jaringan jalan tol telah memanfaatkan
sistem pembiayaan dengan pola BOT (build-operate-transfer) bersama mitrausaha
dari mancanegara.
Tenaga
kerja. Perusahaan global akan mampu memanfaatkan tenaga kerja dari seluruh
dunia sesuai kelasnya, seperti penggunaan staf profesional diambil dari tenaga
kerja yang telah memiliki pengalaman internasional dan\atau buruh diperoleh
dari negara berkembang. Dengan globalisasi maka human movement akan semakin
mudah dan bebas.
Jaringan
informasi. Masyarakat suatu negara dengan mudah dan cepat mendapatkan informasi
dari negara-negara di dunia karena kemajuan teknologi, antara lain melalui: TV,
radio, media cetak dan lain-lain. Dengan jaringan komunikasi yang semakin maju
telah membantu meluasnya pasar ke berbagai belahan dunia untuk barang yang
sama. Sebagai contoh KFC, Hoka Hoka Bento, Mac Donald, dll melanda pasar di
mana-mana.
Perdagangan.
Hal ini terwujud dalam bentuk penurunan dan penyeragaman tarif serta
penghapusan berbagai hambatan nontarif. Dengan demikian kegiatan perdagangan
dan persaingan menjadi semakin ketat dan fair. Bahkan, transaksi menjadi
semakin cepat karena “less papers/documents” dalam perdagangan, tetapi dapat
mempergunakan jaringan teknologi telekomunikasi yang semakin canggih.
Dengan
kegiatan bisnis korporasi (bisnis corporate) di atas dapat dikatakan bahwa
globalisasi mengarah pada meningkatnya ketergantungan ekonomi antarnegara
melalui peningkatan volume dan keragaman transaksi antarnegara (cross-border
transactions) dalam bentuk barang dan jasa, aliran dana internasional
(international capital flows), pergerakan tenaga kerja (human movement) dan
penyebaran teknologi informasi yang cepat. Sehingga secara sederhana dapat
dikemukakan bahwa globalisasi secara hampir pasti telah merupakan salah satu
kekuatan yang memberikan pengaruh terhadap bangsa, masyarakat, kehidupan
manusia, lingkungan kerja dan kegiatan bisnis corporate di Indonesia. Kekuatan
ekonomi global menyebabkan bisnis korporasi perlu melakukan tinjauan ulang
terhadap struktur dan strategi usaha
Masalah
daya saing dalam pasar dunia yang semakin terbuka merupakan isu kunci dan
tantangan yang tidak ringan. Tanpa dibekali kemampuan dan keunggulan saing yang
tinggi niscaya produk suatu negara, termasuk produk Indonesia, tidak akan mampu
menembus pasar internasional. Bahkan masuknya produk impor dapat mengancam
posisi pasar domestik. Dengan kata lain, dalam pasar yang bersaing, keunggulan
kompetitif (competitive advantage) merupakan faktor yang desisif dalam
meningkatkan kinerja perusahaan. Oleh karena itu, upaya meningkatkan daya saing
dan membangun keunggulan kompetitif bagi produk Indonesia tidak dapat
ditunda-tunda lagi dan sudah selayaknya menjadi perhatian berbagai kalangan,
bukan saja bagi para pelaku bisnis itu sendiri tetapi juga bagi aparat birokrasi,
Realitas
globalisasi yang demikian membawa sejumlah implikasi bagi pengembangan SDM di
Indonesia. Salah satu tuntutan globalisasi adalah daya saing ekonomi. Daya
saing ekonomi akan terwujud bila didukung oleh SDM yang handal. Untuk
menciptakan SDM berkualitas dan handal yang diperlukan adalah pendidikan. Sebab
dalam hal ini pendidikan dianggap sebagai mekanisme kelembagaan pokok dalam
mengembangkan keahlian dan pengetahuan. Pendidikan merupakan kegiatan investasi
di mana pembangunan ekonomi sangat berkepentingan. Sebab bagaimanapun
pembangunan ekonomi membutuhkan kualitas SDM yang unggul baik dalam kapasitas
penguasaan IPTEK maupun sikap mental, sehingga dapat menjadi subyek atau pelaku
pembangunan yang handal. Dalam kerangka globalisasi, penyiapan pendidikan perlu
juga disinergikan dengan tuntutan kompetisi. Oleh karena itu dimensi daya saing
dalam SDM semakin menjadi faktor penting sehingga upaya memacu kualitas SDM
melalui pendidikan.
Salah
satu problem struktural yang dihadapi dalam dunia pendidikan adalah bahwa
pendidikan merupakan subordinasi dari pembangunan ekonomi. Pada era sebelum
reformasi pembangunan dengan pendekatan fisik begitu dominan. Hal ini sejalan
dengan kuatnya orientasi pertumbuhan ekonomi. Visi pembangunan yang demikian
kurang kondusif bagi pengembangan SDM, sehingga pendekatan fisik melalui
pembangunan sarana dan prasarana pendidikan tidak diimbangi dengan tolok ukur
kualitatif pendidikan.
Problem
utama dalam pembangunan sumberdaya manusia adalah terjadinya missalocation of
human resources. Pada era sebelum reformasi, pasar tenaga kerja mengikuti
aliran ekonomi konglomeratif. Di mana tenaga kerja yang ada cenderung memasuki
dunia kerja yang bercorak konglomeratif yaitu mulai dari sektor industri manufaktur
sampai dengan perbankan. Dengan begitu, dunia pendidikan akhirnya masuk dalam
kemelut ekonomi politik, yakni terjadinya kesenjangan ekonomi yang diakselerasi
struktur pasar yang masih terdistorsi.
Kenyataan
menunjukkan banyak lulusan terbaik pendidikan masuk ke sektor-sektor ekonomi
yang justru bukannya memecahkan masalah ekonomi, tapi malah memperkuat proses
konsentrasi ekonomi dan konglomerasi, yang mempertajam kesenjangan ekonomi. Hal
ini terjadi karena visi SDM terbatas pada struktur pasar yang sudah ada dan
belum sanggup menciptakan pasar sendiri, karena kondisi makro ekonomi yang
memang belum kondusif untuk itu. Di sinilah dapat disadari bahwa visi
pengembangan SDM melalui pendidikan terkait dengan kondisi ekonomi politik yang
diciptakan pemerintah.
Sementara
pada pascareformasi belum ada proses egalitarianisme SDM yang dibutuhkan oleh
struktur bangsa yang dapat memperkuat kemandirian bang sa. Pada era reformasi
yang terjadi barulah relatif tercipta reformasi politik dan belum terjadi
reformasi ekonomi yang substansial terutama dalam memecahkan problem struktural
seperti telah diuraikan di atas. Sistem politik multipartai yang telah terjadi
dewasa ini justru menciptakan oligarki partai untuk mempertahankan kekuasaan.
Dengan
demikian, pada era reformasi dewasa ini, alokasi SDM masih belum mampu
mengoreksi kecenderungan terciptanya konsentrasi ekonomi yang memang telah
tercipta sejak pemerintahan masa lalu. Sementara di sisi lain Indonesia
kekurangan berbagai keahlian untuk mengisi berbagai tuntutan globalisasi.
Pertanyaannya sekarang adalah bahwa keterlibatan Indonesia pada liberalisasi
perdagangan model AFTA, APEC dan WTO dalam rangka untuk apa? Bukankah
harapannya dengan keterlibatan dalam globalisasi seperti AFTA, APEC dan WTO
masalah kemiskinan dan pengangguran akan terpecahkan.
Dengan
begitu, seandainya bangsa Indonesia tidak bisa menyesuaikan terhadap pelbagai
kondisionalitas yang tercipta akibat globalisasi, maka yang akan terjadi adalah
adanya gejala menjual diri bangsa dengan hanya mengandalkan sumberdaya alam
yang tak terolah dan buruh yang murah. Sehingga yang terjadi bukannya
terselesaikannya masalah-masalah social ekonomi seperti kemiskinan,
pengangguran dan kesenjangan ekonomi, tetapi akan semakin menciptakan ketergantungan
kepada negara maju.
Oleh
karena itu, untuk mengantisipasi tuntutan globalisasi seyogyanya kebijakan link
and match mendapat tempat sebagai sebuah strategi yang mengintegrasikan
pembangunan ekonomi dengan pendidikan. Namun sayangnya ide link and match yang
tujuannya untuk menghubungkan kebutuhan tenaga kerja dengan dunia pendidikan
belum ditunjang oleh kualitas kurikulum sekolah yang memadai untuk menciptakan
lulusan yang siap pakai. Yang lebih penting dalam hal ini adalah strategi
pembangunan dan industrialisasi secara makro yang seharusnya berbasis
sumberdaya yang dimiliki, yakni kayanya sumberdaya alam (SDA). Kalau strategi
ini tidak diciptakan maka yang akan terjadi adalah proses pengulangan kegagalan
karena terjebak berkelanjutannya ketergantungan kepada utang luar negeri,
teknologi, dan manajemen asing. Sebab SDM yang diciptakan dalam kerangka mikro
hanya semakin memperkuat proses ketergantungan tersebut.
Bangsa
Indonesia sebagai negara yang kaya akan SDA, memiliki posisi wilayah yang
strategis (geo strategis), yakni sebagai negara kepulauan dengan luas laut 2/3
dari luas total wilayah; namun tidak mampu mengembalikan manfaat sumber
kekayaan yang dimiliki kepada rakyat. Hal ini karena strategi pembangunan yang
diciptakan tidak membangkitkan local genuin. Yang terjadi adalah sumber
kekayaan alam Indonesia semakin mendalam dikuasai oleh asing. Sebab meskipun
andaikata bangsa ini juga telah mampu menciptakan SDM yang kualifaid terhadap
semua level IPTEK, namun apabila kebijakan ekonomi yang diciptakan tidak
berbasis pada sumberdaya yang dimiliki (resources base), maka ketergantungan ke
luar akan tetap berlanjut dan semakin dalam.
Oleh
karena itu harus ada shifting paradimn, agar proses pembangunan mampu mendorong
terbentuknya berbagai keahlian yang bisa mengolah SDA dan bisa semakin
memandirikan struktur ekonomi bangsa. Supaya visi tersebut pun terjadi di
berbagai daerah, maka harus ada koreksi total kebijakan pembangunan di tingkat
makro dengan berbasiskan kepada pluralitas daerah. Dengan demikian harapannya
akan tercipta SDM yang mampu memperjuangkan kebutuhan dan penguatan masyarakat
lokal. Karena untuk apa SDM diciptakan kalau hanya akan menjadi perpanjangan
sistem kapitalisme global dengan mengorbankan kepentingan lokal dan nasional.
0 comments:
Post a Comment